Monday, December 26, 2011

Salah al-Din Yusuf bin Ayub(Shalahudin Al-Ayyubi/Saladin)

Di tenda besar berwarna putih itu, di tengah Perang Salib yang menghabiskan banyak korban, waktu, dan biaya itu, terdengar dialog bernas antara Saladin dan tangan kanannya.
“Kita harus serang mereka sekarang,” usul sang tangan kanan Saladin.
“Tidak, kita buat perencanaan yang matang dulu,” sanggah Saladin.
“Kita akan menang, karena ini sudah kehendak Allah,” teriaknya.
“Kita akan menang karena perencanaan yang matang,” ujar Saladin, sang pemimpin tertinggi pasukan Muslim. “…dan tentu saja karena kehendak Allah,” segera sang pemimpin itu menambahkan.
Diskusi itu ditutup dengan kalimat Saladin: ”Di setiap pertempuran, aku selalu menang, tentu saja dengan kehendak Allah, karena matangnya pe¬rencanaan perang,” tegasnya.
Dialog di atas mengandung banyak hikmah, betapa Saladin sangat menghargai perencanaan, di samping tanggap terhadap anak buahnya. Di dalamnya juga terdapat percakapan filosofis tentang takdir dan peranan usaha manusia (ikhtiar). Dialog itu terekam lewat film Kingdom of Heaven garapan Sir Ridley Scott yang pernah meraih Piala Oscar lewat film Gladiator.
Shalahuddin di film garapan Barat itu diperlihatkan sebagai sosok yang agung dan spiritual. Tengok saja adegan penghujung saat dirinya bernegosiasi dengan Balian dari Ibelin, panglima dari kaum Nashrani yang ketakutan dengan kemenangan Islam di Yerusalam karena akan membalas membantai kaum Nasrani, sebagaimana mereka memperlakukan Muslim seratus tahun sebelumnya. Saladin hanya tersenyum dan menjawab: ’’Aku Saladin, bukan mereka. Pergilah ke negeri-negeri Kristen, bawa pasukan dan rakyatmu yang memang ingin pergi. Tak ada pembunuhan,’’ katanya.
Shalahuddin Yusuf ibn Ayyub memang dikenal dengan toleransi yang tinggi dan penuh rasa peri-kemanusiaan. Dalam setiap pertempuran, pesannya selalu sama: “minimalkan pertumpahan darah, jangan melukai wanita dan anak-anak”. Dia disegani lawan-lawannya, sehingga dalam Perang Salib III, ada istilah ’Saladin Tithe’ (“Zakat” melawan Saladin). Bersama dengan Raja Baldwin IV, dia menginginkan sebuah kota Yerusalam yang damai bagi ketiga agama besar, sebuah Kingdom of Conscience, Kingdom of Heaven (kerajaan nurani, kerajaan surga).
Sebenarnya, bisa saja keturunan Kurdis (non-Arab) ini menyerang Yerusalem, karena “..200 ribu pasukannya sudah siap tempur…” jelas Tiberias kepada Raja Baldwin. Tapi sang panglima itu tidak melakukannya, karena sudah berkomitmen untuk tidak menyerang Yerusalem asalkan umat Muslim tidak diganggu. Tapi, seperti terlihat dalam film itu, perjanjian dilanggar oleh raja baru Guy de Lusignan yang memerintahkan Raynald of Chatillon membunuh sekelompok kafilah Muslim yang sedang berdagang dan akan berhaji di Laut Merah. juga saudari Shalahuddin. Dan perang pun pecah. Pada Juli 1187, Saladin menye¬rang Kerajaan yerusalem dan terlibat dalam pertempuran Hattin dan berhasil mengeksekusi Raynald dan rajanya, Guy of Lusignan. Dia kembali ke Jerusalem 2 Oktober 1187, 88 tahun setelah kaum Salib berkuasa.
“Persahabatan”nya dengan musuh terbesarnya, Raja Richard I dari Inggris —Raja Inggris yang mengobarkan Perang Salib III yang dijuluki The Lion Heart— juga legendaris. Kepada Richard —satu-satunya raja yang pernah memukul mundur pasukan Muslim— Shalahuddin mengirimkan tabib terbaiknya —dan saat itu memang dunia Islam memimpin dunia iptek termasuk kedokteran. Saat Richard kehilangan kuda tunggangannya, ia memberikan dua ekor penggantinya. Bahkan, dalam satu pertempuran, saat berhadap-hadapan dengan Richard dari Inggris pada Perang Arsuf tahun 1191, di luar perkiraan kedua pasukan, Saladin dan Richard saling berjabat ta¬ngan dan menghormat satu sama lain.
Di medan itu, keduanya sepakat berdamai. Di tahun 1192 keduanya untuk membagi wilayah pesisir untuk Kaum Kristen dan Jerusalem untuk Kaum Muslim. Perjanjian Ramla itu menyatakan bahwa Yerusalem tetap dikuasai Muslim dan terbuka kepada para peziarah Kristen. Bahkan adik Richard dinikahkan dengan saudara Saladin.
Shalahuddin pula yang menghidupkan semangat jihad merebut kota Yerusalam dengan inovasinya yang unik. Dia mengadakan lomba menulis riwayat hidup Nabi Muhammad SAW dalam rangka memperingati maulud nabi. Dan lahirlah syair Barzanzi yang masih hidup hingga saat ini.
Budi baiknya dikenal tidak hanya di kalangan Muslim, tetapi juga lawan-lawannya. Tawanan diperlakukan secara terhormat dan manusiawi, tidak membuat mereka haus dan lapar. Pernah, saat berperang, Shalahuddin menangkap pasukan Salib yang berjumlah sangat besar sedangkan makanan yang tersedia tidak cukup buat mereka. Dengan lapang dada, akhirnya Shalahuddin membebaskan mereka tanpa syarat.
Panglima kelahiran Tikrit (Irak) pada 532 Hijriah (1138 Masehi) di di kota Tikrit (140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris ini begitu cerdas nurani dan emosinya. Mungkin karena dia menghayati ilmu-ilmu yang didapatnya dari guru-gurunya —seperti ayahnya Najamuddin al-Ayyubi, Nuruddin Zangi dan pamannya Asaddin Shirkuh yang pejabat Dinasti Seljuk dan dekat de¬ngan raja Suriah, Nuruddin Mahmud. —di antaranya menguasai ilmu kalam, fikih, ilmu-ilmu al-Qur’an, dan juga hadits, disamping kemiliteran. Bahkan, ia memberikan catatan kaki (syarah) dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud.
Berbeda dengan sultan kebanyakan, dia tidak membuat istana megah untuk dirinya. Tetapi, justru masjid, rumah sakit, dan universitas yang dibangunnya, untuk publik, di Kairo, Mesir.
Setahun setelah Perjanjian Ramla, sepulang Richard ke Inggris, tepatnya 4 Maret 1193, Shalahuddin meninggal di Damaskus tidak lama setelah jatuh sakit. Ketika rakyat membuka peti hartanya ternyata hartanya tak cukup untuk biaya pemakamannya, Utusan yang menyampaikan berita kematiannnya itu ke Bagh¬dad membawa serta baju perangnya, kudanya, uang sebanyak satu dinar dan 36 dirham miliknya. Rupanya hartanya lebih banyak mengalir kepada golongan fakir miskin.
Saladin, begitu lidah Barat menye¬butnya, sudah wafat. Tapi perilaku dan kecerdasan nuraninya akan terus di¬kenang, bahkan oleh Barat. Kisah perang dan kepemimpinannya banyak ditulis dalam karya puisi dan sastra Eropa, sa¬lah satunya adalah The Talisman (1825) karya Walter Scott. ”Di Eropa” tulis Philip K Hitti, ”dia telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum kesatria.”
Kini makamnya menjadi salah satu tempat tujuan wisata utama di Suriah.
Semoga Bermanfaat.

Source : http://ldkcmt.wordpress.com/2011/12/25/salah-al-din-yusuf-bin-ayubshalahudin-al-ayyubisaladin/

No comments:

Post a Comment