Saya seorang wanita, 30 tahun. Beberapa tahun ini saya mengalami kegelisahan yang luar biasa karena belum menikah. Beberapa kali mengalami kegagalan, bahkan di antaranya membuat saya trauma. Banyak yang suka terhadap saya, tetapi sering mengalami “maju-mundur” dalam proses menuju keseriusan. Di kala saya maju, sang lelaki yang mundur, demikian sebaliknya, di kala sang lelaki maju, saya yang mundur.
Ada seorang lelaki muslim yang sampai saat ini membuat saya menyesal karena telah menolak hanya karena saya tidak suka padanya, padahal secara agama, lelaki tersebut baik. Itu terjadi tiga tahun yang lalu. Sekarang, dia sudah menikah dan saya belum bisa melupakan penyesalan itu. Sementara, sekarang adik saya sudah menikah dan saya semakin depresi.
Yang ingin saya tanyakan:
- Apakah ini musibah, cobaan, ataukah Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum saya karena pernah menyakiti lelaki sebelumnya?
- Apakah seringnya hubungan “maju-mundur” saya dengan seorang lelaki merupakan tanda-tanda bahwa itu bukan jodoh? Ataukah saya yang pilih-pilih?
- Bagaimana menghilangkan rasa penyesalan saya dan membangkitkan rasa percaya diri karena belum menikah?
- Bagaimana menghilangkan rasa sakit hati karena didahului oleh adik?
- Bagaimana cara meredam kegelisahan hati saya, meskipun sudah seringkali saya coba dengan memperbanyak shalat, dzikir, tilawah, dan pasrah kepada Allah subhanahu wa ta’ala?
- Apa hukumnya diruwat, dalam pandangan agama Islam? (Diruwat adalah upacara untuk menghilangkan keburukan/kesialan dalam tubuh seseorang)
Jawaban:
Alhamdulillah. Karena semua pertanyaan Saudari berurutan, ada baiknya, kami memberikan jawaban juga secara kronologis, tetapi tanpa penomoran, agar lebih mengikat. Semoga bermanfaat.
Kami memberikan sebuah kunci kaidah saja, bahwa dalam menyikapi segala bentuk takdir, hendaknya seorang hamba pandai-pandai melakukan intropeksi. Sudahkah saya melakukan yang terbaik? Salahkah saya? Apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Dan seterusnya ….
Soal tabah dan bersyukur, jelas tidak kalah penting. Akan tetapi, percuma saja bersikap seperti orang yang tabah menghadapi segala musibah jika ternyata tidak mampu mengembangkan potensi, memperbaiki kesalahan, dan memilih yang terbaik untuk masa selanjutnya. Tentunya, seseorang itu telah berbohong jika dia mengatakan dirinya telah bersyukur, namun dia tidak mampu memperbaiki sikap di kemudian hari.
Soal apabila Saudari pernah menyakiti banyak orang, cukup diselesaikan dengan bartobat saja. Meminta maaf dapat dilakukan, terkait dengan ucapan dan tindakan Saudari yang kurang tepat. Kalau soal penolakan, itu hak, tidak ada masalah benar dan salah dalam hal itu. Kalaupun Saudari menolak pinangan lelaki yang shaleh, Saudari hanya bersalah terhadap diri sendiri dan di hadapan Allah. Lagi-lagi, solusinya memang hanya satu, yaitu bertobat.
Apa yang Saudari alami memang berkutat pada pusaran takdir. Jalan terlaksananya takdir memang bermacam-macam. Sikap Saudari itu pun sudah tercatat dalam alur takdir, sehingga mengakibatkan pernikahan Saudari seolah tertunda-tunda. Namun, sekali lagi, jangan tatap takdir itu sebagai sesuatu yang harus dikoreksi, disesali, atau diumpat. Pandang saja letak kesalahan Saudari. Terlalu memilih, mungkin itu ungkapan agak kasar yang lebih tepat untuk Saudari renungkan.
Ingat, mencari seorang lelaki shaleh bukanlah perkara gampang. Sudah berusaha pun, belum tentu berhasil. Sementara, akibat dari menikah dengan lelaki yang tidak shaleh, sungguh merupakan bencana besar bagi wanita. Dengan harta dan uang, seorang lelaki bejat bisa mengubah surga dunia justru menjadi neraka dunia. Langkah praktisnya, cobalah berpikir realistis. Utamakan memilih lelaki yang shaleh, meskipun memiliki kekurangan fisik atau yang lainnya, tentunya selama Saudari masih mampu menerimanya. Bila sampai batas–maaf–menjijikkan dalam pandangan Saudari, bahkan dikhawatirkan bila menikahinya akan menjerumuskan Saudari dalam maksiat, silakan menolak. Itu adalah hak Saudari. Atau, ada pilihan dua atau tiga lelaki yang sama-sama shaleh, tidak bisa dibedakan yang satu dengan yang lain, sementara Saudari lebih memilih yang–taruhlah–lebih tampan, lebih kaya, dan seterunya. Itu pun tidak menjadi masalah.
Baiklah …. Akan tetapi, semua sudah terjadi, dan pemaparan di atas dapat Saudari lakukan untuk masa yang akan datang. Tidak ada yang perlu disesali. Ikatan jodoh, terkadang dan bahkan seringkali, terasa aneh dan unik. Ada orang yang berusaha menikah tetapi tidak jadi-jadi, namun begitu sudah tidak terpikir menikah, tiba-tiba saja hanya dalam hitungan hari, sudah menjadi pasutri. Kalau sudah berpikir tentang takdir seperti itu, jiwa akan terasa lega dan lapang. Sabar saja, jodoh itu pasti akan datang. Yang lalu, biar saja berlalu. Lipat saja dalam gudang pengalaman Saudari. Mungkin, di hari kemudian, bisa Saudari baca dan pelajari kembali.
Rasa gelisah, takut, khawatir, dan sejenisnya memang harus diperangi. Memang, tidak seketika saja dapat lenyap, bahkan bisa jadi selamanya tidak akan lenyap. Namun, ketika seseorang memiliki kendala hati dan ia berupaya mengantisipasinya, sebenarnya ia sedang mengais pahala. Orang pemarah yang berusaha menahan amarahnya bisa mendapat pahala jauh lebih besar daripada orang penyabar yang sedang marah kemudian menahan amarahnya, karena, perjuangannya pun lebih berat.
Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang kuat bergulat, namun yang mampu menahan diri ketika marah.”
Yang terpenting, segala bentuk kekhawatiran, rasa takut, dan penyesalan itu bisa diredam sehingga tidak meledak; syukur-syukur dapat ditaklukkan. Bagaimana pun hasilnya, perjuangan berat itu pasti juga melahirkan kebahagaiaan di sisi lain.
Dalam jodoh, tidak ada istilah perlombaan, tidak ada istilah menang atau kalah. Seperti juga rezeki, tidak jarang dua orang bersaudara kembar yang ternyata memiliki jalur rezeki yang jauh berbeda: yang satu kaya raya, yang satu miskin nelangsa. Baik, anggap saja bahwa perasaan sakit itu wajar, karena merasa didahului. Jadikan itu sebagai perang lanjutan dalam jiwa Saudari. Kembalilah untuk menaklukkan perasaan sakit itu, sambil terus berupaya berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemurungan dan rasa sedih. Aku berlindung kepada-Mu dari rasa lemah dan malas. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat pelit dan penakut. Aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kekuasaan sesama hamba.”
Sadarilah, bahwa Allah lebih mengetahui kebutuhan kita ketimbang diri kita sendiri. Kalau Saudari sudah bertawakal kepada Allah, pasti segala kebutuhan Saudari akan terpenuhi. Mungkin, Saudari sedang dipersiapkan untuk menjadi lebih kuat menahan beban pernikahan yang merupakan perjuangan berat, di samping juga karunia hebat.
Di samping itu, tidak ada istilah percaya diri atau tidak percaya diri, kalau sudah berhadapan dengan takdir, yang ada: pasrah atau tidak pasrah, rela atau tidak rela. Sama halnya dengan masuk surga. Bagi seorang muslim, tidak ada istilah optimis masuk surga, atau kebalikannya, pesimis selamat dari siksa neraka. Yang ada, rasa takut dan berharap-harap. Tampil saja apa adanya, perbanyak beribadah, belajar dengan tekun, sambil terus berdoa. Semoga, saat masa pernikahan tiba, Saudari dalam kondisi iman di puncak, sehingga bisa menatap segala hal dengan panduan syariat secara lebih dominan ketimbang hawa nafsu. Di situ, keselamatan Saudari akan terjamin.
Ruwatan dan sejenisnya adalah kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Dalam ajaran Islam, sudah ada pembentengan diri yang disebut do’a atau ruqyah. Dengan sering-sering membaca Al-Baqarah, segala godaan jin dan setan niscaya musnah. Dalam Islam pula, akhlak yang buruk dan komitmen agama yang rendah adalah kesialan. Wanita yang membawa sial adalah wanita yang berakhlak buruk. Demikian dijelaskan oleh para ulama, di antaranya oleh Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi. Dengan agama yang baik dan budi pekerti mulia, kita akan terbimbing menuju nasib yang mujur dunia dan akhirat, terlepas dari kenyataan bahwa Saudari akan menikah cepat atau lambat, karena itu tidak ada hubungannya dengan kesialan atau kemujuran. Saudari, kami akan membantu dengan doa.
Sumber: Majalah Nikah, Vol. 3, No. 12, Maret, 2005.
Dengan penyuntingan oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
No comments:
Post a Comment